Jumat, 12 Desember 2014

Setahun Kepergian Papa



Sampai sekarangpun aku belum bisa melupakan saat itu,  begitu jugakah yang Papa rasakan saat Ompung meninggalkan Papa?
Lebaran 2013, aku masih sempat berbicara walaupun lewat hp dengan papa,
Assalamualaikum Papa, Papa apa kabar?  Papa sehatkan?
Maaf ya Pa, tahun ini kami belum bisa pulang karena Abinya Fatimah tidak bisa libur, insyaallah tahun depan kami akan pulang.
Masih terngiang terus ucapan Papa saat itu,
Waalaikum salam, Papa sehat, ya ndak apa, tahun depan kita masih bisa ketemu.
Pa, sungguh panjang angan angan kita saat itu, berharap masih ada tahun depan...

Sehari sebelum kepergian Papa, aku pergi ke Palembang mengantar cucu Papa, Sarah untuk terapi. Di perjalanan pulang kembali ke Pendopo, sebenarnya aku teringat untuk menelfon Papa dan Mama, tapi, ah sudah larut malam, masih ada besok, fikirku saat itu,... sekali lagi Pa, angan anganku terlalu panjang, mengira masih ada hari esok.
Sampai akhirnya aku dikejutkan telfon dari Mami, kira kira pukul 4 dini hari.
Neny, Papa dibawa kerumah sakit, kata Mami, sembari menangis.  Aku yang kaget karena baru terbangun dari tidurku yang nyenyak, sontak merasa dadaku sakit sekali......
Mami, Papa kenapa.  Mami tunggu aku mau pulang,... tunggu aku Mamiiiii.
Sabar ya nang, (inang panggilan sayang untuk anak perempuan batak), kita tunggu kabar dari RS kata Mami, dan telefon langsung terputus.
Aku langsung bergegas mengambil koper dan menyiapkan pakaianku untuk berangkat, tapi bukannya menyusun baju, aku hanya memasukkan dan mengeluarkan bajuku ke dalam koper berulang ulang. Apa yang mau kubawa, kelima anak anakku dengan siapa sudah tak  kuhiraukan lagi.  Waktu rasanya berlalu begitu cepat, hanya beberapa menit kemudian hpku kembali berdering, dan terdengar suara tangisan Mami, Neny Papa sudah pergi nak, dunia serasa runtuh, Papa,.. tunggu Pa, Papa aku datang.
Sedih sekali rasanya mendengar Papa pergi, dan aku berada di Pendopo,  Papa aku ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya, walaupun yang akan kutemui hanya jasad Papa.  Walau Papa tidak akan bisa memelukku lagi, aku ingin bertemu.  Sepanjang jalan aku berdoa, Ya Allah yang Maha kuasa, yang sanggup memperjalankan hambanya sampai sidratul muntaha dalam sekejab, tolong antar aku bertemu Papaku. Apalah artinya jarak Palembang Medan bagiMu, Sungguh Engkau Maha Kuasa.
Kira kira pukul 9, kami (aku, suami dan Aziz, anak bungsuku) tiba di bandara Sutan Mahmud Badaruddin, tapi sayang sekali pesawat garuda yang langsung ke Medan sudah berangkat, demikian juga penerbangan lain yang transit Jakarta, Padang maupun Batam.  Alhasil dapatlah tiket garuda yang langsung ke Medan tapi berangkatnya selepas Maghrib.  Putuslah sudah harapanku bertemu Papa untuk terakhir kalinya.............................
Aku akhirnya hanya bisa mendengar prosesi pemakaman Papa lewat hp, diiringi doa dan deraian air mata.

Kira kira pukul 10 malam, sesampainya di Medan, di depan rumah, kaki ini rasanya tak kuat berdiri, raga serasa melayang. Di rumah masih banyak saudara dan kerabat yang takziah.  Saat bertemu mama, dan adek adekku, rasanya tak percaya papa sudah tiada, dan aku tidak akan pernah bertemu lagi.
Sekarang 1 September 2014, sesudah satu tahun berlalu, wajah papa masih menghiasi layar hp dan notebookku, agar setiap kubuka, kulihat wajahmu dan akan kualunkan doa untukmu papa. Papa sungguh tak kukira jika sepekat ini mendung duka bertahta di hati, semenjak kepergianmu, kau tak lepas dari ingatanku. Mengingatmu saat duka maupun suka, sekarang sama menyedihkannya bagiku, papa sungguh terasa singkat kebersamaan kita.





Tidak ada komentar: